Saturday, June 22, 2013

Arom: "Ngaco" Award


Selain Arul (Untuk yang belum kenal, silahkan sempatkan melihat lini masa saya), Arom adalah nama lain yang menjadi idola kakak-kakak di taman. Saya mengenal Arom dengan gayanya yang santai, bahkan kadang cenderung cuek, dia sering tak peduli pada sekitar ketika sedang serius dengan sesuatu.
Tak seperti Jejen yang seakan haus ilmu, Arom sering mengeluh jika hari itu agenda kami di taman adalah belajar. Bukan, bukan maksud saya mengatakan bahwa Arom anak yang malas, karena walaupun mengeluh tapi tangannya tetap mengerjakan materi yang sedang dibawakan. Pernah dia bilang pada saya bahwa senin sampai sabtu di sekolah sudah belajar jadi mengapa minggu pun harus melakukan hal yang sama, hahaaa.. Saya tak mau menyalahkan karena siapa yang tidak merasa demikian ketika usia sekolah 
Suatu kali saya alpa mengikuti kegiatan camping ceria yang merupakan program empat bulanan kami di taman. Kakak-kakak yang lain cerita pada saya, disana Arom menunjukkan siapa dirinya, dia begitu menikmati alam yang tersaji di depan mata dengan kegembiraan khas anak-anak. Seperti berada di dunianya sendiri, kata mereka.
Arom bukan adik yang paling kecil usianya di taman tapi kelakuannya sering menunjukkan demikian. Terkadang sulit baginya untuk berbagi dengan teman-teman yang lain bahkan untuk yang lebih kecil seperti Arul dan Ujang Kecil. Dari situ saya belajar bahwa ketika ke taman membawa mainan maka sebaiknya Arom tidak jadi orang pertama yang memegang karena adik lainnya akan kesusahan mendapat kesempatan 
Arom, pemenang kategori "Ngaco" dalam Taman Harapan Award



Tri Harvina Coniwitry Saragih, 22 Juni 2013

Jejen: Pintar dengan Rahasia?


"Kak..Beri aku 6 soal, jangan 3" itu yang Jejen katakan pada salah satu kakak yang mengajarinya matematika pada saat kunjungan perdana saya ke taman. Sejak kalimatnya tersebut tertangkap indera pendengaran saya, maka sejak saat itu pula saya terus memperhatikannya.
Jejen adalah adik yang pintar, ah sudahlah..tentang itu saya tak mau membicarakannya karena dia sudah membuktikannya dengan jawaban benar pada banyak soal yang diberikan. Tak hanya matematika tentu saja, materi pelajaran bahasa inggris yang sering kami bawa ke tamanpun menjadi teman baiknya. Saya yakin nilainya di sekolah juga cukup mencengangkan.
Jejen sering ikut main dan belajar bersama, tapi juga tak jarang lebih memilih menyingkir untuk berjualan dan meninggalkan keriuhan kami di taman. Ketika ikut bergabung biasanya Jejen akan sangat aktif. Dia mengikuti permainan yang sedang berlangsung, menjawab soal-soal yang diberikan dan mengerjakan yang diperintahkan sehubungan dengan kegiatan. Tapi di saat tak ikut berkegiatan, dia akan menjelma menjadi Jejen yang tidak saya kenal. Pernah beberapa kali saya menjemputnya di titik dia biasa berjualan, jauh dari pohon rindang kami, tapi yang saya dapat adalah dia jalan menjauh seperti tak ingin disentuh. Kadang ketika bersama sengaja saya arahkan pembicaraan kenapa dia sering absen berkegiatan tapi Jejen hanya menjawab saya dengan senyuman.
Dulu saya penasaran dengan perubahan sikapnya tetapi semakin minggu semakin saya sadar bahwa adik yang satu ini punya alasan sendiri untuk tak menjawab. Dan saya, sama sekali tak berhak mengganggu gugat.
Jejen, si pintar yang membuktikan bahwa tak ada manusia tanpa rahasia.



Tri Harvina Ciniwitry Saragih, 21 juni 2013

Saturday, June 15, 2013

Yuni: Hebat!

Saya akan melakukan survey kecil-kecilan, maka kalian tolong jawab dalam hati dan otak saja, tak perlu diutarakan apalagi dituliskan kemudian dikirimkan pada saya. Siapa diantara kita yang selalu memvisualisasikan seorang anak yang berdagang di jalanan harus menggunakan pakaian lusuh? Berapa orang diantara kita yang mengeneralisasikan penampilan fisik semua orang di jalanan dengan cetak biru yang sama? Apakah kita termasuk orang yang jika melihat pedagang di jalanan yang masih anak-anak dan berpenampilan layak kemudian mencibir bahwa mereka hanya malas saja berusaha lebih giat?

Kalau anda dan saya ada didalamnya, maka selamat..saya nyatakan untuk Yuni, semuanya jadi berbeda. Yuni tak lusuh, dia berpenampilan sederhana tapi tetap menarik seperti layaknya anak-anak seusianya. Yuni terlihat sangat sehat dengan pipi penuh bulat menggemaskan. Singkatnya, tak ada ciri "jalanan" seperti yang saya dan anda amini selama ini.

Dengan adik yang satu ini, seperti pada adik lain seumurannya, saya mengalami kendala bahasa. Tapi jadi tak masalah karena tak ada marah-marah ketika saya tak paham. Yuni hanya akan tersenyum kalau saya sudah mulai bingung lalu dengan santainya mengalihkan pembicaraan ke hal lainnya atau malah pergi sambil mentertawakan wajah konyol-kebingungan saya, hahaaa..

Beberapa kali kami berkegiatan di taman, Yuni tak turut serta entah karena alasan apa. Dia menjajakan dagangan di dekat tempat kami berkumpul sambil sesekali menoleh seperti ingin ikut tapi tetap tak mendekat. Saya ajak, dia menolak. Saya tak mau dan tak akan menduga-duga, maka saya pamit untuk melanjutkan kegiatan dengan adik-adik yang lainnya. Tapi di waktu lain dia ikut kegiatan, biasanya dia menjadi peserta yang paling antusias 

Dulu sekali saya pernah tanya apa cita-citanya. Dia tidak menjawab ingin jadi dokter atau guru seperti yang umumnya saya dengar, Yuni bilang dia ingin jadi penari yang punya banyak uang agar bisa tetap sekolah dan membahagiakan orangtuanya.

Yuni, sekecil itu punya pemikiran luas yang saya sangsikan dimiliki oleh anak manja diluar sana.



Tri Harvina Coniwitry Saragih, 15 Juni 2013

Riki: Si Pejuang Besar

Adik yang satu ini adalah adik paling tua usianya yang masih aktif ikut berkegiatan di taman. Memang berapa usianya? Entahlah, saya pun tak pernah bertanya tapi mari simpulkan saja dari perawakannya.
Mungkin karena usia, Riki jadi seperti pemimpin kalau sedang berkumpul dengan teman-teman yang lain, tapi jangan bayangkan anak laki-laki berusia remaja yang kalau bermain lantas tak mau terima kekalahan karena cerminan itu jauh sekali darinya. Riki memang kerap jadi kepala, tapi bukan kepala yang lantas tak mau tau segala sesuatu tentang tubuh dan ekornya asal dia selamat. 

Dia kepala yang berbeda, kepala yang selalu menoleh untuk memastikan bahwa orang-orang yang mengikutinya dalam keadaan baik.

Seperti Neng yang berjualan sambil menjaga adiknya, Ujang Kecil, begitupun Riki terhadap Arul. Sering ketika bermain Arul menangis, entah karena kalah atau karena keinginannya tak terpenuhi, biasalah anak kecil. Maka kalau sudah seperti itu, Riki akan datang, menggendong Arul dan berusaha membuatnya kembali diam.

Beberapa minggu yang lalu, kami menjadwalkan belajar mata pelajaran yang akan diuji dalam ujian nasional sekolah dasar untuk dibahas, karena yang akan mengikuti UN hanya 5orang maka adik-adik yang lain bebas ingin belajar apa saja. Tepat ketika saya selesai dengan Siska beserta segala soal pecahannya, Riki mendekati saya, dia duduk disebelah saya dan...diam saja. Iya, dia hanya duduk dan sama sekali tidak berusaha membuka percakapan. Saya bertanya ada apa, dia menggeleng dan menjawab bahwa hanya ingin duduk saja, maka saya biarkan. Sungguh duduk bersebelahan dan diam saja itu rasanya tak nyaman maka saya buka percakapan, tapi Riki tak nyaman. Kemudian saya kembali diam dan memperhatikan adik-adik lain yang sedang belajar sampai kemudian dengan suara sangat kecil, muka tertunduk dan sedikit tersenyum dia bilang "Kak, kira-kira cita-cita jadi apa ya yang tidak susah?" Saya diam beberapa saat dan berusaha menebak ke arah mana pertanyaan yang Riki utarakan. 

Saya ingin membantunya untuk jadi adik yang optimis tapi juga tak ingin berbohong maka jawaban saya adalah "Tidak ada!"

Riki, untuknya saya mau menunjukkan betapa semua itu susah tapi pantas untuk diperjuangkan.

Tri Harvina Coniwitry Saragih, 14 Juni 2013

Siska: "Tidak" Untuk Bertahan!

Dua bulan belakangan hampir setiap minggu saya fokus melakukan kegiatan dengan adik yang satu ini. Berawal dari suatu minggu dia meminta saya secara khusus untuk mengajarkannya matematika, tepatnya pecahan. Sungguh saya benci matematika, itu alasan utama saya kenapa cinta ilmu sosial, agar tak perlu bertemu dengan angka-angka rumit yang membuat sakit kepala. Tapi karena ini hanya pelajaran pecahan sederhana maka saya pun meng-iyakan.

Sering ketika saya sedang menyampaikan materi pelajaran dihadapannya, Siska tidak memperhatikan saya, dia malah sibuk tersenyum sendiri sambil melihat kelompok teman-temannya yang sedang diajarkan hal yang berbeda oleh kakak-kakak lain atau malah bersenandung sambil melihat ke jalanan. Saya maklum, belajar di kelas yang sudah jelas-jelas diciptakan agar perhatian tertuju penuh ke depan saja terkadang sulit apalagi ini, belajar di tengah suara kendaraan bermotor yang hiruk-pikuk di jalanan.

Saya tak paham tentang metode mengajar yang baik dan benar, saya hanya menggunakan pengalaman mengajar anak-anak di Garut pedalaman selama sebulan penuh sekitar 3tahun yang lalu sebagai bekal di taman, maka ketika Siska selalu menjawab "Tidak" atas pertanyaan "Sudah mengerti, sis?" sering saya merasa kesal dan ingin pergi saja. Puji Tuhan, sejauh ini saya tak melakukannya, saya tetap ada disana bertahan untuk mengajarkan Siska materi yang dia belum paham benar karena walaupun Siska menjawab tidak mengerti tapi soal yang saya berikan selalu benar dijawab olehnya. Jadi saya merasa Siska hanya sedang menguji kesabaran saya 

Siska, jawaban "Tidak"-nya mengajarkan saya untuk bertahan.


Tri Harvina Coniwitry Saragih, 13 Juni 2013

Arul: Tarzan Kota??

Ini idola kebanyakan kakak-kakak di taman, tak kalah mempesonanya lah seperti para pria berkulit putih bermata irit yang bernyanyi (atau besar kemungkinan hanya menggerakkan bibir) sambil menari yang jadi tontonan wajib remaja masa kini. Arul selalu dinantikan kehadirannya di taman 

Dengan Arul saya mengalami kendala bahasa yang sangat, alasannya masih sama seperti adik-adik yang sebelumnya saya ceritakan dan untuk yang satu ini saya menyerah. Bahasa sunda yang diucapkan dengan artikulasi yang baik dan benar saja saya tak paham, apalagi Arul yang mengucapkannya dengan aksen cadel khas anak-anak. Saya dengan ikhlas mengibarkan bendera putih dalam hal ini.
Jangan tanya saya usianya berapa karena saya bukan cenayang yang bisa membaca pikiran. Berkali-kali saya tanya padanya tapi yah seperti biasa, kami akan berputar-puar dalam pembicaraan tak jelas karena tak mengerti satu sama lain. Yang saya tau adalah Arul berbadan kecil dan aktif sekali bergerak. Sering ketika kami berkegiatan, Arul berlari atau bermain di sekitar kami ditemani oleh beberapa kakak yang hadir. Arul memang tidak pernah serius memperhatikan materi yang sedang saya atau kakak-kakak lain sampaikan di taman tapi kehadirannya selalu mampu menambah semangat kami di taman, tak heran dia banyak penggemarnya.

Jangan heran kalau suatu saat sedang lewat, kalian melihat Arul sedang berlari atau bermain bebas di sekitar jalan seram, karena memang itu kebiasaannya. Sering saya cemas mengingat lalu lintas disekitarnya sungguh sibuk, banyak motor dan mobil berseliweran tak habis-habisnya. Tapi Arul memang hebat, tanpa takut dia terus saja bermain tak kenal lelah. Semesta memang sungguh mencengangkan menempa seseorang. Arul menjadi berteman dengan alam.

Saya memang tak begitu akrab dengannya. Sering dia lebih memilih kakak lain untuk diajak bermain ketimbang saya, kecuali saya sedang membawa makanan, hahahaa..dasar anak-anak 
Ohya, satu hal yang sungguh-sungguh mempesona saya dari Arul adalah senyumnya, bibir ditarik lebar hingga mata menyipit. Senyum yang selalu mengingatkan saya bahwa hidup itu memang berat tapi bukan intuk diberat-beratkan.

Arul, adik bertubuh kecil yang punya semangat besar.

Tri Harvina Coniwitry Saragih, 12 Juni 2013

Ria: Si Cantik nan Cerdas

Rambut panjang lurus terawat, kulit bersih, paras cantik dan tinggi cukup. Saya yakin pada usianya nanti maka akan repotlah sang ayah untuk mengawasi para pria yang bertandang ke rumah atau bahkan mengusiri para berandal diantaranya, hahahaa..

Ria adalah anak dari kakak-entah-ke-berapanya Neng, atau biar lebih mudah dipahami mari sebut bahwa Ria adalah keponakan Neng. Neng adalah bibinya Ria. Dan mereka duduk di satu ruangan kelas yang sama.

Ria menjadi adik di taman yang paling bersemangat kalau saya membawa materi yang belum pernah diketahuinya, seperti pada saat saya membawa permainan merangkai kata ala negeri seberang, Scrabble. Dengan sigap dia langsung mengambil tempat di samping saya, berharap kesempatan untuk bermain menjadi lebih besar ketimbang adik lainnya. Saya senang karena dia bersemangat, seperti saya bilang di cerita sebelumnya bahwa melihat adik-adik di taman bersemangat menjadi suntikan kesenangan tersendiri untuk saya. Tapi ada satu yang alpa, Ria kadang tak kenal kata mengalah, bahkan kepada adik yang berusia lebih sedikit darinya. Saya tak mau langsung menyalahkan, biar itu jadi pekerjaan orang picik di luar sana, saya hanya mengamini bahwa ini soal usia.

Cerdas, itu kata yang pantas menggambarkan tingkat intelektual Ria, karena hampir tak pernah soal yang saya berikan meleset dijawabnya. Saya memang tak pernah tau peringkat berapa dia di sekolah tapi sejak dulu orangtua saya bilang bahwa juara bukan segalanya, yang penting adalah kemampuan untuk mengatasi krisis diri sendiri, dan saya setuju pada hal itu sampai ke sumsum tulang.

Saya senang melihat Ria tertawa, terasa sangat ringan dan menyenangkan. Dia sering mentertawakan saya yang memasang wajah kebingungan ketika Ita dan Ujang Kecil mengatakan sesuatu dalam bahasa Sunda, tapi tak lama kemudian dia akan dengan sukarela menjadi penterjemah untuk saya 
Ria, adik cantik yang menyenangkan.


Tri Harvina Coniwitry Saragih, 11 Juni 2013

Gugun: Si Sederhana Yang Kaya?



Saya tak punya alasan yang jelas dan tepat, tapi adik yang satu ini adalah adik pertama yang saya ingat namanya setelah kunjungan perdana. Kalau diingat-ingat, bahkan Gugun tak lebih istimewa dari adik lainnya. Dia bukan adik yang paling bersemangat memperkenalkan namanya ketika salam "Hai-Halo" selesai dikumandangkan. Dia bukan adik yang pakai baju paling menarik perhatian saat itu. Dia bukan adik yang bergerak aktif demi agar orang mencuri pandang padanya. Tapi bukankah otak dan hati punya hak mutlak untuk meletakkan sesuatu di tempat yang paling khusus?! Maka biarlah, tak usah memaksa diri mencari alasan. 
7 bulan memang bukan waktu yang sebentar, tapi juga bukan waktu yang cukup untuk mendalami karakter adik-adik di taman. Saya belum mengenal baik Gugun tapi kami dapat dengan mudah berkomunikasi ketika kegiatan dilakukan, tak ada kendala bahasa seperti pada adik-adik yang lebih kecil, tak ada malu-malu tapi mau khas anak kecil.
Adik yang satu ini punya sesuatu yang sangat melekat yaitu ketika bicara maka ada irama disana, "Seperti ada lagunya!" cerita saya kepada beberapa teman yang kemudian diamini setelah mereka bertemu dan mendengar sendiri Gugun bicara.
Saya selalu senang bersusah-susah di hari Sabtu untuk memikirkan kegiatan apa yang layak dilakukan esok harinya di taman. Kenapa?? Apa saya tak punya kerjaan?? Atau malah tak punya teman untuk bersenang-senang di akhir minggu seperti orang lainnya?! Itu selalu ditanyakan orang-orang. Baiklah, begini jawaban saya. Pernah merasa sangat senang ketika memberi sesuatu pada orang lain dan orang itu menyukainya? Pernah merasa melayang ketika hadiah yang kalian berikan pada orangtua, saudara, teman, atau pacar dirasa tepat? Maka, seperti itulah yang saya rasakan. Susah saya di hari sabtu untuk mempersiapkan bahan selalu terbayar dengan senyum dan rasa penasaran Gugun serta adik lainnya.
Gugun adalah salah satu adik yang tak pernah alpa mengikuti kegiatan ketika dia memang ada di taman dan matanya yang penuh dengan pertanyaan akan selalu saya nantikan.
Gugun, kesederhanaannya berlaku membuat dia kaya.

 Tri Harvina Coniwitry Saragih, 10 Juni 2013

Eneng: Si Kakak Pembuat Jatuh Cinta

Adik pertama yang dipercayakan salah satu kakak di taman untuk saya ajarkan matematika dan bahasa inggris pada kunjungan perdana. Pemalu, itu kesan pertama yang saya tangkap. Dengan wajah tertunduk dan volume suara yang maha kecil, dia berbisik ingin belajar matematika. Jangankan sertifikat sebagai pengajar, kuliah saja saya tak kunjung selesai. Sempat gentar, tapi akhirnya memutuskan untuk mengakhiri ketakutan tak beralasan dengan berdamai. Di akhir pertemuan, saya berhasil tak membuatnya menangis. Sebagai informasi untukmu, menangis dan tidak menangis saya jadikan patokan keberhasilan dalam menghadapi anak-anak. Iya, absurd memang.

Oh iya, masih ingat dengan Ujang Kecil (versi saya, karena kalau versi kakak-kakak lainnya dia adalah Ujang Dede)? Neng adalah kakaknya. Mereka hanya dua orang dari lumayan banyak saudara sedarah, saya tak tau jumlah pastinya.

Bagi saya, Neng bukan hanya pedagang coet di persimpangan jalan seram. Neng lebih dari itu. Neng adalah anak kecil yang dengan tulusnya merelakan jam bermain untuk berpanas dan berhujan sambil jualan, Neng adalah kakak yang bahkan sambil berjualan pun masih sempat-sempatnya memperhatikan Ujang Kecil dan bertanggung jawab atas keselamatan adiknya. Neng adalah guru bagi saya.
Dari Neng, saya belajar banyak hal. Saya belajar bertanggung jawab, belajar menjalani hidup (yang konon katanya keras ini) dengan ikhlas, dan belajar menjadikan dunia ini sebuah taman bermain raksasa.
Satu titik penting tentang kehadiran saya di taman terjadi pada akhir pertemuan di kunjungan pertama saya. waktu itu, tanpa menengadahkan wajahnya, Neng menggenggam tangan saya dan bilang "Minggu depan datang lagi ya, kak.." Maka sah sudah, saya jatuh cinta pada mereka.
Neng, genggaman tangannya meyakinkan saya untuk terus kembali kesana.


Tri Harvina Coniwitry Saragih, 9 Juni 2013

Andri: Sunyi Yang Berkisah??

Biar saya mengaku saja di awal, tak ada yang saya tau tentang adik yang satu ini, tidak tentang keluarganya, tidak tentang kesehariannya apalagi kepribadiannya. Sepanjang saya ke taman (sudah 7bulan terhitung pada tanggal 4 Juni kemarin), hanya 5 kali saya pernah bertemu dengannya. Iya 5 kali, saya ingat betul tentang itu.

Masih ingat Deti, adik yang saya ceritakan sebelum ini? Ingat bagaimana saya berusaha mendeskripsikan betapa diamnya dia? Nah, kalikan dengan angka 7 dan begitulah Andri di mata saya. Sunyi. Seperti punya dunia sendiri.

Beberapa kali pernah saya coba melakukan pendekatan dan berhasil. Iya, saya berhasil diacuhkan olehnya. Saya bertanya dan Andri hanya menyimpan mukanya dalam tanpa menjawab satupun pertanyaan yang terlontar. Saya jadi curiga, semenakutkan itukah saya baginya? Sungguh, saya tidak memakai topeng scream kalau sedang ke taman.

Tapi saya tak khawatir tentang sikapnya pada saya, mungkin ini memang hanya tentang nyaman. Cukup bagi saya mendapati Andri bisa tersenyum, tertawa, dan bermain dengan teman-temannya, adik-adik yang lainnya. Cukup bagi saya mengetahui bahwa Andri tak lekas berlari sambil berteriak-teriak ketakutan ala film horor ketika melihat saya mendekat ke taman. Hahahaa, paragraf ini memang berlebihan, sah saja kalau kalian tak suka. Tapi kalian selalu punya pilihan untuk berhenti membaca, kan?! Oke, saya sedang mengigau. Lupakan.

Andri memang kurang dermawan dalam bicara pada saya tapi tetap ada sesuatu yang akan saya ingat sampai kapanpun tentangnya. Minggu, 2 Desember 2012 untuk kali pertama dan terakhir sepanjang saya aktif di taman, saya berhasil bicara dengan Andri. Saya senang entah kenapa, padahal hanya 2 kata dan selebihnya hanya anggukan dan gelengan. Tapi apalah yang lebih menyenangkan dari tercapainya sebuah keinginan, ya kan?!
Andri, dalam sunyinya punya banyak kisah untuk diceritakan.



Tri Harvina Coniwitry Saragih, 8 Juni 2013

Deti: Sunyi Yang Mengajari

Pandang gambarnya lalu lihat nama yang tertera, banyak orang mengira adik yang satu ini pria. Tak heran, bahasa tubuh dan penampilan fisiknya memang tak seperti anak perempuan umumnya.
Sejauh yang saya kenal, Deti adalah adik di taman yang paling tertutup. Seperti ada tembok tinggi yang sengaja dibangunnya dan hanya menyisakan sedikit celah untuk menghalangi orang masuk atau paling tidak dia akan punya waktu untuk menganalisa terlebih dulu orang yang bertamu.

Sering saya sengaja menyempatkan untuk menghampiri dan mengobrol dengannya, tapi entah karena memang dia merasa tak aman dan tak nyaman dekat dengan saya atau memang begitulah adanya, dengan cepat dia akan pamit pergi sambil bilang "Jualan dulu ya, kak.." Kami memang tak terlalu akrab, tapi suatu kali dia memberi saya pelajaran berharga. Tiga minggu sebelum ujian nasional tingkat sekolah dasar, saya menghampirinya yang sedang istirahat jualan, saya bertanya tentang sejauh mana persiapannya, dia bilang baik-baik saja. Meski terdengar olehmu tak meyakinkan tapi bahasa tubuhnya tak bilang demikian. Dia berusaha keras, saya menemukan kekuatan hati disana dan saya bahagia. Sampai saya ke pertanyaan berikutnya tentang rencananya melanjutkan ke sekolah menengah pertama mana, maka sayapun diberi jawaban "Belum tau, kak.. Lanjut sekolah kalau punya uang, kalau tidak ya jualan saja" Kali ini saya yang pamit sambil berkata "Kesana dulu ya.." sambil memarahi otak, hati, dan mulut kenapa sampai berkonspirasi melontarkan pertanyaan semacam itu. Pertanyaan yang menghasilkan pernyataan yang saya tak tau cara menanggapinya.

Deti, dengan diamnya mengajari saya banyak hal.


Tri Harvina Coniwitry Saragih, 7 Juni 2013

Ujang Dede: Si Pembagi Senyum

Pertama, maafkan saya untuk kesalahan nama. Seharusnya adik kecil ini bernama Ujang Dede. Kenapa saya salah? Kewalahan dengan terlalu banyak adik? Atau malah tidak terlalu peduli dengan nama mereka? Bukan kawan, ini karena saya hanya kenal 2 orang bernama Ujang di taman maka untuk membedakan mereka saya menambahkan "Besar" dan "Kecil" dibelakang namanya, tapi belakangan saya tau bahwa sebenarnya ada 3 Ujang, maka urutannya menjadi "Besar", "Kecil", dan "Dede". Ujang sama seperti Ita, lebih lancar berbahasa sunda, dan itu menyulitkan untuk saya. Bedanya, tidak butuh waktu lama bagi Ujang untuk memutuskan sebaiknya menggunakan bahasa tubuh saja untuk berkomunikasi dengan saya. Haleluya untuk itu 
Dengan Ujang saya tak butuh pendekatan khusus, minggu ke-3 saya ke taman, Ujang langsung menghampiri dan duduk di pangkuan saya lalu diam disana sampai pertemuan kami selesai. Entah memang karena aura penyayang-anak-kecil saya terlampau berbinar atau Ujang merasa saya cukup empuk untuk diduduki, saya tak mengerti, tapi yang saya tau adalah saya merasa nyaman. Bahkan pernah pada suatu minggu kami tidak bisa berkegiatan karena hujan deras hingga harus meneduh di teras perkantoran, sepanjang itu Ujang memegang tangan saya, antara cari perhatian atau sinyal butuh perlindungan.

Tak banyak bicara, tak cengeng seperti anak seumuran kebanyakan, dan selalu boros dengan senyuman. Itu yang saya tau betul tentang Ujang. Adik kecil yang satu ini memang tak selalu ada di taman setiap kali kami berkegiatan, tapi yang pasti setiap dia akhirnya hadir disana, banyak senyum untuk diberikan.
Ujang, pacar masa depan saya (Itu juga kalau dia sudi dengan perbedaan usia yang terbentang).




Tri Harvina Coniwitry Saragih, 6 juni 2013

Pak Ndin - Si Pengambil Sampah


Di suatu sore saya melihat ada bapak tua menarik gerobak sampah diikuti oleh seorang anak kecil di belakang gerobak. Si bapak tua dengan sangat fokus memindahkan sampah yang ada di tong-tong sampah yang dia lewati dan memasukkan ke gerobaknya. Sesekali si anak kecil ikut membantu mengambil sampah. Seringkali si anak menatap kosong ke teman-teman sebaya yang sedang bermain di dekatnya. Si bapak tua kadang masuk ke rumah orang tanpa permisi, tapi kemudian keluar membawa sampah untuk dimasukkan ke gerobaknya. Tiba-tiba saya melihat ada satu anak kecil lagi yang lebih besar dari yang pertama membawa banyak sampah dan memasukkan ke gerobak yang sama.

Pada satu kesempatan mereka bertiga beristirahat di pinggir trotoar, saya coba menghampiri dan bertanya-tanya, ternyata pak tua itu bernama pak ndin, kerjanya mengambil sampah di rumah-rumah yang berlangganan dengan dia. Satu rumah biasanya membayar 10 ribu sampai 20 ribu rupiah per bulan, tergantung dari berapa banyak sampahnya. Total pelanggannya pak ndin kurang lebih 90 rumah, per bulan bisa mendapat kurang lebih 950 ribuan rupiah. Pak ndin biasa mengambil sampah dari jam 6 pagi sampai jam 11 siang.

Pak ndin tinggal di cibogo, dia memiliki 5 orang anak, 2 orang anak yang membantu itu anaknya, yang besar bernama Ujang Reni (12 tahun), yang kecil bernama Rian (6 tahun). Ujang reni hanya sekolah sampai kelas 5, sekarang sudah berhenti sekolah, sehari-hari kerja serabutan membantu bapaknya. Sedangkan Rian masih belum sekolah.

Suatu kali saya melihat, ujang reni sedang membantu mang-nya mengangkut berangkal, karena sedang ada penggalian kabel di ruas jalan rumah susun sarijadi. Saya menanyakan pak ndin ke ujang, ternyata pak
ndin sedang ada proyek ngebor sumur.


Agustinus Feiry, 8 Juni 2013



English Translation:


One afternoon, I saw an old man pulling a garbage cart followed by a little boy on the back. As he walk, he will take out the trash from the trash can that he found along the way and put it to his cart. Occasionally, the little
boy will help him, oftentimes he staring the kids (about his same age) playing nearby. Sometimes, the old man get inside people's house without permission and get out with trash to put in his cart. Suddenly I see a bigger boy taking a lot of trash out of nowhere and put it in the cart.

Then I saw the three of them resting on a sidewalk and take the time to ask questions to the old man. The old man name is Pak Ndin, his job is collecting trash from houseswho subscribes to his service. One house will pay between 10 thousandto 20 thousand rupiahs (about 1 to 2 dollar) a month depends on the amount of the trash each day. He had about 90 subscribers who use his services. He usually get about 950 thousand rupiahs (95 dollars) a month. Pak ndin usually start his work at 6 am and finish at 11 am.

Pak ndin lived in cibogo, he and his wife have 5 children, the two boys who help him are his kids, the bigger one is Ujang Reni (12 years old), the little one is Rian (6 years old) Ujang reni had leave school last year (at fifth grade), now he help his father by taking any unskilled jobs. Meanwhile Rian does not go to
school yet.

One time, I saw Ujang reni helping his uncle moving dirt with a cart, there is a road excavation work for cable laying in sarijadi. I ask his father, he said that pak ndin taking a job to dig water well.



Agustinus Feiry, 8 June 2013

Wednesday, June 5, 2013

Ita : Si Galak Pembelajar

Panggil saja Ita maka adik cantik berpipi penuh ini akan berujar "Apa?".
Dengannya, saya sering kali hampir berputus asa. Bukan, bukan karena dia tak mengerti tentang apa yang saya ajarkan tapi lebih kepada ketidaksepahaman bahasa. Saya tak mampu berbahasa sunda yang adalah bahasa ibu baginya. Dia, tentu saja mampu berbahasa indonesia, tapi tak banyak, tak lancar. Seringkali bahasa tubuh jadi andalan 
Minggu-minggu awal saya ke taman, Ita jadi anak yang paling saya hindari. Kenapa? Karena ketidakmampuan saya berbahasa sunda menyebalkan untuknya, karena seringkali apa yang dia inginkan tak mampu saya terjemahkan, setelah itu tak jarang dia jadi marah.
Galak, cuma itu yang saya tau tentang Ita awalnya. Lalu sekarang? Tenang, kami berteman baik. Dia mulai terbiasa dengan wajah bingung saya ketika dia berbahasa sunda dan saya mulai terbiasa menanyakan arti kata yang dia ucapkan kepada adik-adik lainnya demi tau apa yang dia mau.
Beberapa minggu yang lalu sebelum mulai kegiatan, saya menemuinya di tempat biasa dia berjualan. Saya ajak untuk berkumpul di bawah pohon rindang dan jawaban ini yang saya dapat "Main atau belajar? Kalau main, aku gak mau kesana tapi kalau belajar aku mau!". Tegas dan jelas. Dalam hati saya tertawa, bukan mentertawakan jawabannya yang tak biasa tapi mentertawakan diri saya karena sering berpikir untuk bermain saja di taman ketika tak mampu memikirkan materi pelajaran untuk dibawakan.
Ita, pemenang kategori "Galak" dalam Taman Harapan Award 






















Penulis, Tri Harvina
 

Komunitas Taman Harapan Copyright © 2011 -- Template design by Brun -- Powered by Blogger