Thursday, July 26, 2012

Angkuhnya Warga Kota, ya setidaknya itulah yang kami lihat dan rasa


Belum hilang dari ingatan saat anak-anak taman (sebutan untuk anak jalanan yang kami dampingi di TamanHarapan) dan orangtuanya di gelandang petugas pol pp ketika diadakan penertiban dalam rangka penyambutan sibeye (sebutan untuk tuan presiden kita) yang akan berkunjung ke kota kembang beberapa waktu lalu, yang konon katanya -si tuan- berkunjung untuk meresmikan salah satu simbol penindas (dibaca: kapitalis) di daerah gatot subroto atau TSM. Dan pada hari rabu kemarin hal serupa terjadi lagi dengan alasan yang berbeda, namun mungkin juga sama.

Rabu siang sekitar 2 bis polisi beserta pol pp kembali menyisir jalan seram-martadinata dan mungkin lokasi-lokasi lain juga untuk menciduk orang-orang yang mereka sebut gelandangan, pengemis, preman dan semua orang yang mereka anggap mengganggu keindahan kota (masyarakat pra-sejahtera). Kebetulan waktu itu saya berada di taman sedang berbincang bersama kawan Buluk dan pada waktu yang bersamaan di taman ada satu anak yang berjualan cobek, namanya Pulloh (walau tidak dipungkiri sebagian orang menyebut pekerjaan Pulloh dkk adalalah mengemis). Seketika para petugas turun dari bis langsung menghampiri Pulloh dan hendak membawanya, saya pun langsung menghampiri petugas itu dan coba bertanya -ada apa ini pak?-, sang petugas menjelaskan kalo di bulan ramadhan ini tidak boleh ada orang-orang seperti Pulloh di jalan, mungkin karena pekerjaan Pulloh yang mengganggu keindahan kota pikir saya. Dan saya pun coba menjelaskan kondisi Pulloh serta keberadaan TH (TamanHarapan) disana, sampai akhirnya Sang Ibu Komandan-nya pun menghampiri kami. Sang komandan menyampaikan bahwa banyak sekali KELUHAN DARI WARGA KOTA yang merasa sudah tidak nyaman di jalanan kota sekarang karena dipenuhi dengan aktifitas orang-orang semacam Pulloh, sang komandan melanjutkan dengan mengancam akan memasukan Pulloh dan ibunya ke panti sosial selama 3 bulan jika membandel, karena aktifitas ibu Pulloh dkk melanggar undang-undang katanya.

Saya pun coba menjelaskan kembali kondisi Pulloh dan apa yang TH gagas di taman, serta lantas menyampaikan kritik saya terhadap pola - pola pemerintah, dalam hal ini solusi dari dinas sosial seperti yang tadi sang komandan jelaskan. Solusi yang ditawarkan sangat tidak solutif karena setelah masyrakat pra-sejahtera semacam Pulloh dkk tadi dibina keahliannya selama 3 bulan di panti sosial, mereka dilepaskan kembali ke dalam realitas sosial yang penuh persaingan bebas tanpa pembekalan yang lebih kongkret, semisal modal usaha yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan ataupun akses untuk bekerja. Dengan pola yang dilakukan pemerintah seperti itu saya rasa tidak akan dapat menyelesaikan persoalan apapun, karena dikemudian hari sesuai naluri manusia untuk mencari hidup, ketika mereka kalah dalam persaingan untuk mendapatkan pekerjaan, mereka akan lebih memilih kembali ke jalan daripada harus mati dirumah dengan tanpa usaha maupun pekerjaan. Sekali lagi yang dibutuhkan masyarakat pra-sejahtera ini bukanlah sekedar pembekalan selama tiga bulan, yang dibutuhkan adalah pendampingan secara konsen dan konsisten untuk dapat "menyentuh" mereka dan membukakannya akses kerja yang lebih real, karena untuk dapat bertahan hidup di tengah sistem pasar persaingan bebas seperti hari ini, dibutuhkan lebih dari sekedar kemampuan, tapi dibutuhkan juga akses kerja yang kongkret, manusiawi dan tidak tipu - tipu.

Dan akhirnya perdebatan diantara kami pun diakhiri dengan "pengertian(?)" sang komandan untuk tidak membawa Pulloh beserta ibunya. Tapi tetap saja pengertian dari para petugas hari itu tidak akan membebaskan Pulloh dkk dari penindasan. Siklus penindasan (dibaca: pencidukan) itu akan berulang di lain hari, karena PARA PETINGGI petugas itu akan terus MENCARI AMAN untuk mengatasi berbagai macam keluhan dari WARGA KOTA YANG ANGKUH...!


Dadan Wijana, 26 juli 2012

Friday, July 6, 2012

Terjebak Romantisme Moralitas, Mari Belajar Bersolidaritas...

Sungguh klasik jika kita melihat berbagai macam persoalan sosial hanya dari kacamata moralitas saja, salah satu contoh seperti saat kita melintasi kawasan lampu merah yang banyak dihuni "anjal" (anak jalanan), kemudian kita berujar "aduh, kasian banget sih anak itu (sambil memberinya uang dari saku kita)" atau "mama kamu kemana dek? Jam segini kan kamu harusnya sekolah?". Saya yakin, hal yang kita pikirkan saat menemui situasi seperti itu sama, pasti kita ingin sekali membantu si anjal tersebut menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Namun dengan tidak menegasikan harapan "mulia" kita yang ingin membantu si anjal tersebut, seringkali kita hanya terjebak pada langkah-langkah praktis dalam pemenuhan rasa iba kita pada anjal tersebut, yang akhirnya malah membuat kita terjebak dalam romantisme moralitas seperti itu.

Pola-pola demikian rasanya tidak akan pernah sampai pada pemenuhan rasa "iba" kita yang esensial, yaitu rasa iba yang mengharapkan si anjal tersebut setiap hari duduk manis di sekolah dengan perut penuh terisi makanan bukan hanya bisa makan hari ini saja, atau berharap si anjal dapat hidup "normal" layaknya orang-orang yang terlihat lebih dapat menikmati hidupnya dengan penuh keceriaan yang terpancar.

Padahal jika kita mau sedikit saja berpikir lebih rumit tentang persoalan sosial tersebut, ya minimal kita mau bertanya pada diri kita "kenapa ya anak-anak ini ada di jalan?", kita akan sampai pada persoalan mendasar yang mereka hadapi, persoalan utama yang telah melegalkan mereka untuk hidup "tereksploitasi" seperti itu, yakni pembiaran pengebirian struktural yang dilakukan negara dan para pemodal terhadap akses konstruksi sosial, politik serta ekonomi anjal tersebut. Parahnya yang melakukan pembiaran tersebut adalah KITA dengan segala keangkuhan (dibaca: ketidakpedulian) yang kita agungkan, yang notabenenya kita adalah orang-orang dengan akses "lebih" dalam menuntaskan persoalan tersebut. Ya kita orang-orang yang sangat ternyamankan dengan "zona nyaman"-nya, sehingga membuat kita enggan sejenak saja keluar dari zona nyaman untuk dapat turun bersolidaritas bersama anjal tersebut, bahkan lebih jauh lagi bersolidaritas bersama semua masyarakat pra-sejahtera.
 Dadan Wijana
 

Komunitas Taman Harapan Copyright © 2011 -- Template design by Brun -- Powered by Blogger